Bayang-Bayang Dwifungsi Baru: Ekspansi Militer dari Desa hingga Sawit

Jakarta – Di belahan dunia lain, doktrin pertahanan tengah berlari kencang mengejar Revolution in Military Affairs (RMA). Perang di abad ke-21 tak lagi sekadar adu jumlah pasukan di parit-parit, tetapi pertempuran asimetris, penguasaan teknologi siber, hingga presisi persenjataan jarak jauh. Inilah wajah perang generasi keempat.

Namun, di Indonesia, arah pertahanan justru seolah diputar balik secara drastis. Alih-alih sibuk di simulator tempur atau laboratorium teknologi, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) kian disibukkan dengan urusan cetak sawah, distribusi pupuk, hingga mengamankan harga gabah.

Paradoks ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Hubungan Sipil Militer dalam Negara Demokrasi” di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (14/11/2025). Di balik narasi populisme swasembada pangan tersimpan data mencengangkan mengenai ekspansi struktur militer yang kian masif merangsek ke ruang sipil, sebuah fenomena yang oleh para pembicara disebut sebagai ”sekuritisasi” urusan publik.

Peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Tony Supriatma, membedah data yang selama ini luput dari radar publik. Ia menyoroti perubahan doktrin pertahanan dari minimum essential force atau kekuatan pokok minimum menjadi postur maksimum yang berimplikasi pada gemuknya struktur.

Tak main-main, TNI Angkatan Darat disebut tengah merancang pengembangan komando daerah militer (kodam) menjadi total 37 kodam, hampir satu di setiap provinsi. Bahkan, di Papua akan ada empat kodam baru. Namun, yang paling menyita perhatian adalah nomenklatur baru di level akar rumput, yaitu Batalyon Teritorial Pembangunan.

”Nanti di bawah satu kodim itu akan ada satu Batalyon Teritorial Pembangunan. Satu batalyon itu kira-kira 700 sampai 1.000 orang,” ungkap Made.

Hampir 70 persen anggaran pertahanan kita habis untuk belanja pegawai dan rutin. Hanya 20-30 persen untuk alutsista.

Struktur ini jauh melampaui fungsi kodim tradisional yang biasanya hanya berisi staf teritorial dan intelijen dengan jumlah personel terbatas. Made merinci, Batalyon Pembangunan ini tidak hanya berisi pasukan tempur, tetapi dilengkapi kompi-kompi spesifik, seperti kompi pertanian, kompi peternakan, dan kompi kesehatan.

Tak berhenti di situ, Made juga mengungkap ekspansi pasukan elite Kopassus. Ekspansi masif ini dikhawatirkan bukan untuk menghadapi invasi asing, melainkan untuk mengontrol sipil hingga ke level kabupaten.

”Akan ada satu grup Sandi Yudha di Timika. Satu grup itu ada tiga batalyon, jumlahnya bisa berlipat ganda,” tambahnya.

Di balik pengerahan pasukan ke sektor agraria, Made Tony mencium aroma bisnis yang pekat. Ia menyoroti kemunculan entitas bisnis baru bernama PT Agrinas Palma. Perusahaan yang baru dibentuk pada Februari tahun ini disebut-sebut langsung menjadi pemain raksasa dalam industri kelapa sawit.

”PT Agrinas Palma ini tiba-tiba menjadi pemain besar. Mereka mengelola perkebunan sawit yang disita Kejaksaan Agung dari kasus korupsi, seperti Duta Palma dan Wilmar,” kata Made.

Tak tanggung-tanggung, luasan lahan yang dikelola diperkirakan mencapai 1,7 juta hektar, dengan potensi ekspansi hingga 3 juta hektar. Made menyebut, manajemen perusahaan ini diisi oleh purnawirawan jenderal, salah satunya mantan Danjen Kopassus Agus Sutomo.

Fenomena ini membangkitkan memori kolektif tentang dwifungsi ABRI di masa lalu, di mana militer tidak hanya memegang senjata, tetapi juga menguasai konsesi ekonomi. ”Ini bukan lagi sekadar tugas negara, tapi militer telah menjadi blok politik paling penting yang masuk ke rantai pasok pasar,” tegas Made.

Di saat tentara disibukkan dengan urusan sawit dan gabah, Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative Al Araf mengingatkan bahaya fatal dari salah pengelolaan sumber daya ini. Apalagi Indonesia tengah menghadapi potensi konflik nyata di Laut China Selatan dan perbatasan Ambalat yang membutuhkan postur pertahanan outward looking atau memandang ke luar dengan teknologi tinggi.

”Hampir 70 persen anggaran pertahanan kita habis untuk belanja pegawai dan rutin. Hanya 20-30 persen untuk alutsista,” paparnya.

Dalam kondisi cekak anggaran, Al Araf mengkritik keras pembentukan Komponen Cadangan (Komcad) dan pelibatan TNI di proyek food estate atau lumbung pangan yang dinilainya memboroskan anggaran tanpa hasil yang jelas. Ia mencontohkan kegagalan food estate di Kalimantan di mana hutan dibabat, tetapi padi tak tumbuh.

”Kapasitas perang hari ini ditentukan teknologi. Bagaimana mau melatih mereka profesional? Satu butir peluru itu mahal sekali. Pelurunya baru mau dipakai latihan nembak, malah disuruh ngurusin cetak sawah,” tutur Al Araf.

Di ujung diskusi, dosen Hukum Tata Negara UGM, Virga Dwi Efendi, menyoroti keruwetan hukum administrasi yang timbul akibat banyaknya peran militer baru. Ketika militer menjabat posisi sipil atau mengelola proyek negara dan melakukan kesalahan administrasi, mekanisme pengadilannya menjadi kabur.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menambahkan bahwa kekebalan hukum atau impunitas terhadap prajurit TNI masih dijumpai. Ia mencontohkan kasus pembakaran rumah wartawan di Sumatera Utara yang menewaskan satu keluarga.

”Pelaku lapangannya divonis, tapi oknum militer yang diduga menyuruh sampai sekarang belum tersentuh,” kata Usman.

Usman menyebut kondisi ini sebagai ”lampu kuning” bagi demokrasi Indonesia. Kepercayaan publik yang tinggi pada seragam loreng justru dimanipulasi untuk melegitimasi peran-peran yang seharusnya dikerjakan oleh sipil, membawa Indonesia perlahan mundur ke bayang-bayang negara kekuasaan.

Pos terkait